Kumpulan beban berat hidup itu, mengalir dalam lirik lirih Wahyu Wibisana. Syair yang mengisahkan seorang ibu, menitipkan cerita pada jabang bayinya, bahwa ayahnya telah tiada, tewas karena pemberontakan ideologi, peristiwa pagar betis di Tasikmalaya. Kembang Tanjung Panineungan yang dilantunkannya, begitu meresap dalam sukma. Pada setiap tarikan nafasnya, ia menghembuskan kesulitan hidup yang ia terima kini. Adalah Yuyun Yuningsih, seniman Sunda untuk Kacapi Kawih, yang telah menekuni alat musik petik ini semenjak masa perang kemerdekaan. Kini setiap hari ia harus menapaki jalanan kota, menyusuri bayang-bayang ketidak pastian, mengais rupiah demi hari ini.
“Ini adalah bukan pilihan saya, tetapi saya berusaha tetap tawakal.” tutur bu Yuyun Yuningsih, membuka percakapan, mengapa ia mengamen. Asap rokok kretek yang ia sukai itu membungbungkan cerita sebenarnya, kisah lama mengenai pertemuannya dengan seni. Kurang lebih tahun 60-an, ia mengenal musik tradisi Sunda melalui perkenalannya dengan karya-karya Mang Koko. Dari titik inilah ia menjerumuskan dirinya, menjadi seniman, hingga berkesempatan tampil di atas pentas, panggung seni Sunda. Melalui Kacapi lah, ia melanglang buana, dari panggung ke panggung, hingga acara-acara kenegaraan. “Itu dulu, sekarang berbeda, nasib kami hanya cerita lama, digusur musik moderen” ungkapnya, sambil menerawang nanar. Kini ia mendapati dirinya menyandarkan hidupnya, dari dentingan petikan Kacapi sebagai pengamen jalanan. (denisugandi)
(Tulisan dari blog asal)
Usianya yang senja, Yuyun Yuningsih (84 tahun) nenek ini terlihat antusias dan sangat menghayati setiap lantunan lagunya, dengan iringan kacapi degung Sunda karya mang Koko almarhum. Suaranya bergetar, kadang membawa rasa “waas” bagi penikmat karawitan Sunda. Kini, si nenek tua ini bisa dikatakan sebagai legenda hidup kacapi Sunda yang masih produktif di tatar kota Bandung. Kembali pada masanya, ia telah melanglang buana bersama sanggar seni yang dipimpin Upit Sarimanah, diantaranya menjadi pengisi di program acara Mang Koko di RRI Bandung pada tahun 1960-an.
Meskipun tidak disetujui suami, dengan dana swadaya, ema Yuyun bertekad mendirikan sanggar seni yang dikelolanya sendiri, dinamai Tritunggal. Akhirnya tahun 1980-an terpaksa ditutup karena faktor finansial dan berkurangnya perhatian generasi muda terhadap seni Sunda. Saat ini, karena kurangnya perhatian dari pemerintah untuk seniman dan seniwati angkatan 1950-an, kini nasib ema Yuyun terlantar. Pilihannya adalah menjadi pengamen, karena harus bisa bertahan hidup.
Ema Yuyun bertutur bahwa menjadi pengamen bukan berarti pekerjaan hina, bila tujuannya adalah mengabarkan, bahwa seni Sunda kacapi degung ini perlu menjadi perhatian generasi penerusnya. Dibalik raut tuanya ia berkata bahwa, kebudayaan lokal adalah kekayaan nasional. Siapa lagi yang melestarikan budaya dan seni kalau bukan kita semua. (foto/teks denisugandi)
Leave a Reply