• Home
  • About
Deni Sugandi
  • Home
  • About
Theme by Cohhe
PENGHAYAT CAHAYA PANGGUNG

Catatan dari pameran bersama “Stand Your Ground” 12 – 27 Maret 2011

Di dalam cafe, yang disinari lampu tungsten berkesan hangat ini menyinari sekujur sudut ruang. Tiap dinding sudah dipesan, khusus untuk memajang karya foto berjumlah 88 karya, dengan ukuran yang beragam. Ukuran foto bingkai blok kayu 20×25 cm hingga 30×40 cm, semuanya ditata tidak simetris, biar berkesan dinamis. Pastilah mata akan terjerat dengan susunan tidak rapih ini, seakan-akan melawan kelaziman, ingin memberontak, sesuai dengan semangat mereka, menangkap energy interaktif antara musisi dan penonton. Berhasil atau tidak sang penghayat cahaya panggung ini merekam adegan tersebut? Mengapa karya pameran “Stand Your Ground” ini masih mencari pijakan? Apapun rasanya, Inilah pameran bersama untuk fotografi panggung, yang digelar di ruang komersil kedai makanan jalan Ambon Bandung, diselenggarakan oleh komunitas jejaraing sosial indogigs devianart.com dari tanggal 12 hingga 27 Maret 2011.

Penyelenggaraan pameran berjamaah seperti ini, bukan hal baru, bahkan terlalu sering. Terbukti dengan penyelenggaraan yang pernah dilakukan oleh himpunan mahasiswa kampus mupun komunitas. Bagi mereka lebih “aman” berpameran bareng, dengan berbagai alasan tentunya. Memang tidak ada masalah dengan pilihan seperti ini, bahkan bisa menjadi banyak ragam eksplorasi yang dilakukan. Begitu luas peristiwa di atas panggung yang bisa digali lebih dalam, sudut adegan, hingga gaya ungkap yang berbeda. Namun itu akan terjadi bila dilakukan sebelum “capturing” pengambilan gambar, harus ada pendalaman obyek (baca: subject matter), tema yang membungkus dan kesepakatan antar pemotret menjelang gelar karya, karena fotografi itu bukan saja perkara teknis, namun dilihat, dicermati, diolah dan dikeluarkan dari dalam kepala, melalui ereksi urat syaraf jari telunjuk. Tetapi karya yang dihadirkan dalam pameran kali ini tidak seperti itu.

Memang benar sekali, kini fotografi bisa dinikmati dengan beragam cara, bahkan pilihan unggah di jejaring sosial sangat mudah dilakukan, tetapi hanya bisa diakses oleh lingkungannya sendiri, Seperti yang diungkapkan oleh pendiri jejaring komunitas ini, Jovy Aidil Akbar, lebih baik dihadirkan dalam bentuk pameran karya di ruang publik, daripada kesepian dalam situs web. Ketika dihadirkan di ruang luar seperti ini, pasti ada umpan balik yang lebih adil dan memberikan kesempatan yang luas untuk diapresiasi. Baik atau buruk, pujian atau hujatan, itu biasa, itulah bentuk apresiasi sebenarnya, dan seharusnya dimunculkan dalam diskusi dan dialog. Inilah alasan kenapa gerombolan anak muda berlatar berbeda ini berpameran, bukan mencari katarsis, namun penyikapan.

Untuk urusan ruang pamer, persis seperti ungkapan slogan minuman bersoda; kapan saja, dimana saja, begitu pula dengan gelar karya seperti ini, bisa dimana saja. Bila ruang apresiasi tidak ada, maka dengan sendirinya para pelakon pameran tetap akan berusaha menampilkan karya ini dengan berbagai cara, diantaranya hadir di ruang komersil, seperti di kedai makanan. Ruang sempit, syarat pencahayaan dan pendukung lainya, kadang menjadi faktor yang sering diabaikan. Tetapi, setidaknya karya tersebut masih bisa dinikmati dengan jelas, sejatinya perlu penanganan khusus, maka disinilah peran kurator perlu dihadirkan. Selain berfungsi menentukan karya, ia pun harus bertanggung jawab, mengkomunikasikan karya pameran, baik itu melalui tulisan yang dipublikasi di media masa, atau sebagai pengantar katalog.

Seperti yang disaksikan di pameran ini, tanpa seorang kurator, karya akan muncul tanpa benang merah yang kuat, apalagi kesepakatan teknis editorial karya, diserahkan kepada masing-masing penampil. “Setiap fotografer, menghadirkan minimal tiga, atau maksimal lima karya, jadi bebas” tandas Aswal Badri, salah satu partisipan pameran. Jelas, selain karya dari stok yang sudah ada, tentunya kesan yang muncul seperti bola liar, sulit untuk membaca dan memahami secara keseluruhan, apalagi tidak ada tulisan pengantar pameran, untuk membantu memahami pesan yang disampaikan. Bahkan katalog yang dipublikasikanpun tidak memuat apa-apa selain tanggal lahir dan nama orang tua mereka. Melalui karya kolektif ini, lebih tepat disebut gelar karya dan bukti kemampuan teknis yang mumpuni, dibandingkan opini yang menguatkan karya.

Tersebutlah 20 orang yang berpameran, diantaranya Adiasa Pollen Karangan, Asywal “Badrun’ Badri, ali Mahdy, Evan Alfaresi, Muhammad Arief Wahyudi, Agus Prayudi Saguni Nawir, Edwin “Geremow” Pratama, Anwar “Bako” Wirawijaya, Harist “Baist” Sandhy Wibowo, Ahmad Hilal, Resa “Jepank” Hidayat, Jovy Aidil Akbar, Refly Megalauman, Nuri Arunbiarti Moeladi, Safitra A. Pranoto, Rangga Fajar Nugraha, Diky Erfan “Kibo” Priliandi, Ricky Arnold, Omar Arif Maulana dan Sigit Artha Christiawan. Semua karya diambil dalam kurun waktu 2009 hingga 2011, dengan berbagai gaya ragam ungkap yang berbeda. Sebutlah karya Evan Alfaresi, bentuk visual yang dihadirkan nyaris berbeda dengan karya-karya lainya, karena ia memilih medium ungkap konvensional, yaitu silver halida alias negatif. Pemilihan metode rekam seperti ini, menguntungkan Evan untuk hadir “berbeda” ketika bersanding dengan karya-karya lainya, karena kamera lensa plastik Lomo Colorsplash Chakras yang digunakan, begitu banyak keterbatasan, tetapi menawarkan kekayaan alternatif lain untuk merekam. Jadi Evan tidak terlalu dibebani bahasa teknis, yang terlalu membatasi ruang gerak kreasi. Untuk urusan menampilan karya, pasti dihadirkan dengan gaya Lomo-nya, nyaris dekoratif.

“Over Exposure” judul foto seri yang ditampilkan Adiasa Pollen Karangan. Tiga karya dengan ragam bentuk sama, pengambilan dari depan dan efek smoke gun/asap, memperlihatkan dramatis si vokalis, siluet karena arah cahaya dari belakang. Adiasa terkesan memberikan pembenaran, bahwa gambar over eksposure pun bisa dimaknai, bukan karya gagal. Berbeda dengan Ali Mahdy, dengan judul “Lampu Garis-Garis Cihuy” melalui eksplorasi pencahayaan lama, lampu spot di sudut belakang panggung, menjadi mainan Ali untuk membungkus obyek dengan garis cahaya. Tidak ada sesuatu yang baru, namun permainan grafiti cahaya tersebut setidaknya tampil lain dan berbeda, efek kejut seperti ini lazim digunakan foto panggung, sama seperti yang digarap oleh Safitra A. Pranoto.

Melihat karya Agus Prayudi Saguni Nawir, Omar Arif Maulana, Nuri Arun Biarti Moeladi, Resa Hidayat dan Sigit Artha Christiawan seakan terjebak dengan pola sistematis bahasa visual yang umum. Walaupun panggung musik penuh dengan dinamika, namun mereka ini masih menunaikan pakem komposisi yang baik dan benar, yang dikenal pada fotografi yang terlalu umum. Ciri yang mudah diidentifikasi adalah permainan komposisi, yang dibagi menjadi dua pertiga bagian. Tidak ada yang salah dengan keyakinan seperti ini, namun sejatinya fotografi itu bebas nilai, jadi bebaskanlah. Ragam bentuk visual seperti ini memanglah sering dijejali oleh editorial media. Kebutuhan publikasi harian umum, majalah ataupun tabloid, biasanya menggunakan bentuk gambar yang sifatnya umum, karena komunikasi yang ingin disampaikannya adalah nilai berita. Ada paradoks antara aestetik dan etika, ketika hadir di editorial, yang berlaku adalah patron atau sebut saja ideologi media. Seharusnya kawan-kawan di indogigs tidak terjebak, malah harus lebih liar, karena karya yang hadir adalah egaliter bukan kebutuhan editorial. Pijakan seperti ini perlu diyakini, karena perihal memotret adalah rangkain akhir dan paling mudah, “Acting is easy, deal is hard” begitu sepenggal kalimat dari dialog dalam film My Little Giant, yang mengisahkan Bill Crystal seorang pemandu bakat.

Namun ada sudut lain dari karya Ahmad Hilal dan Jovy Aidil Akbar, bahwa panggung tidak selalu harus menampilkan musisi seutuhnya, namun ada migrasi bahasa visual melalui ikon, yang berhasil dihadirkan. Lihat saja karya Ahmad dengan judul “The Vocalist” bukan berarti menunjuk pada obyek, namun simbolisasi microphone sebagai corong untuk bersuara. Begitupula dengan karya Jovy “They glare, they was glowing!” sepenggal kaki musisi sudah cukup menyiratkan jenis musik yang diusung. Framing seperti ini mengingatkan karya Ron Gallela, seorang paparazzi yang memotret hanya tangan kiri Michael Jackson. Karya Refly Megalauman “Siluet” mungkin tidak akan disukai foto editor di majalah, karena miskin informasi, karena tidak menjelaskan siapa musisi yang dimaksud.

Apapun yang telah dilakukan kawan-kawan di Indogigs, sudah barang tentu turut memberikan pilihan pada lanskap fotografi kini. Bukan berarti apa yang telah dikerjakan adalah sesuatu yang baru, namun lagu lama yang kembali diungkapkan lagi. Kembali ke belakang, dokumentasi scene musik 70-an pernah dihadirkan majalah Aktuil, pionir majalah musik Indonesia. Sebut saja beberapa fotografer yang aktif, diantaranya Goenadi “de Jepreter” Harjanto, Harry “Pochang” Krisnandi, Prayitno Soelarko hingga Khrisna “Chees” Satmoko. Namun kini tantangannya semakin lebar, apalagi industri musik kini sangat terbentang luas, jadi fotografi turut pula melengkapinya. Yang perlu diketahui bahwa fotografi bukan saja merekam, tetapi mengangkat hingga bisa menjatuhkannya, karena fotografi itu berpihak. Maka liarlah, berontaklah selagi bisa. (denisugandi@gmail.com)

 

 

Previous
MELAWAN LUPA MELALUI LUBANG 3 MILI

Catatan dari diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore/Ongkoss, 15 Februari ..

Uncategorized
0
Next
MENYANGKAR DI CAKRANEGARA

Tidak ada kebebasan yang sejati, bila tetap menjadi bagian komoditas komunitas p..

Uncategorized
0

Add comment Cancel reply

Enter your comment
Enter your name
Enter your email