Catatan singkat dari diskusi Afternoon Tea ke-20, kamis 18 juli 2013, pustaka selasar sunaryo, bandung
Fotografi dan kolonialisasi adalah setali tiga uang, masing-masing saling terkait dan membutuhkan. Kolonialisasi tanpa kamera, seperti menapaki jaman dengan andalan daya ingat kira-kira. Pada akhirnya, teknologi melahirkan alat rekam permanen, menggunakan lapisan perak, menggantikan lithography yang mendominasi ilustrasi visual di media publikasi, sebelum tahun 1890 –an. Lahirlah teknik rekam, yang memerlukan proses lebih dari seratus tahun, hingga bisa merekam permanen. Melalui tangan seorang petugas kesehatan Belanda, Jurrian Munich, ia hadir di Batavia 172 tahun yang lalu, dengan harapan bisa melaporkan, meminjam mata pemotret sebagai wakil mata dunia daerah jajahannya.
Sejak itulah fotografi mendampingi petualangan kolonialisasi, untuk medium rekam dokumentatif (kemudian dianggap penting) karena mampu merekam persis seperti apa yang disaksikan mata manusia, bahwa fotografi tidak berbohong, sehingga dianggap sebagai representatif dari perwakilan mata. Maka fotografi menjadi alat yang sangat penting untuk menyampaikan propaganda dan juga sebagai medium dokumentasi, tentang keberhasilan pembagunan wilayah koloni. Kini bukti rekam permanen inilah, menjadi artefak visual, kemudian menjadi referensi catatan visual sejarah perjalanan bangsa ini, dari kacamata kolonial. Wacana inilah, menjadi pintu pembuka menuju diskusi forum fotografi Afternoon Tea ke-20, yang diselenggaran oleh Fotolisis melalui Forum Studi Fotografi Bandung/FSFB dan Pustaka Selasar (Sunaryo) menggelar perbincangan bulanan yang menarik. Wacana ini dibatasi mengangkat fotografi kolonial dipandang sebagai catatan sejarah tata kota di Bandung. Dalam kesempatan ini, dihadirkan Tubagus Adhi seorang aktifis cagar budaya Bandung, yang mengerti benar tentang fungsi fotografi untuk arsitektur. Untuk teknis media rekam dan kamera, dituntun ileh Andi Wijaya, pegiat fotografi yang tergabung di Perhimpunan Amatir Foto (PAF Bandung) sejak tahun 1974. Melalui pengalaman mereka, berupaya mengungkapkan identitas kota melalui fotografi peninggalan kolonial, sejak tahun 1890 hingga 1942.
Dalam diskusi ini, Tubagus Adhi menyampaikan bahwa fotografi kolonial tersebut adalah sebagai catatan visual yang sangat akurat. Bahkan dalam metode restorasi dalam ilmu arsitektur pun, fotografi bisa dianggap sebagai referensi yang baik. Ia mencontohkan pemugaran gedung De Vries, yang dibangun tahun 1811, dahulu terletak di jalan utama Pos, kini menjadi jalan Asia-Afrika Bandung. Pada tahun 1955, dalam rangkaian Konperensi Asia Afrika, beberapa bagian detail bangunan seperti teks berbahasa Belanda, ditutup dengan menggunakan papan, tanpa merusak, atas instruksi presiden pertama RI. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir pengaruh kolonial. Namun dengan berbekal foto lama, bangunan tersebut bisa dikembalikan sesuai awal disain pembangunan. Belum ada informasi yang jelas, foto siapakah yang digunakan untuk pemugaran bangunan cagar budaya tersebut, bisa dikatakan bahwa begitu sulit untuk melacak asal muasal foto kolonial tersebut.
“Pada saat itu tidak semua orang bisa memotret” tandas Andi Wijaya. Memang benar, bahwa kegiatan fotografi sangatlah mahal dan langka. Selain harus memiliki keterampilan memotret, juga harus dibekali pengetahuan kimia, untuk meracik beberapa material proses cuci-cetak film. Hingga menjelang kedatangan pasukan Jepang ke Bandung melalui Subang, material fotografi semakin sulit didapat. Hingga pendudukan jepang menuju kemerdekaan, bisa dihitung jari para pelaku fotografi pada saat itu. Hanya warga eropa, jepang dan keturunan tionghoa lah, yang memiliki akses untuk fotografi pada saat itu.
Dalam beberapa koleksi foto yang dimiliki Tubagus Adhi, ia menjelaskan bahwa di dalam foto-foto tersebut memberikan informasi tentang perkembangan tata kota, baik itu bentuk bangunan, peruntukan hingga sebaran dan disain bentuk arsitektural. Dari visual inilah, rupanya kegiatan dokumentasi telah lama disadari oleh pemegang kekuasaan kolonila. Jadi bukan saja sebagai media pencitraan negeri koloni, namun merekam detail tentang tumbuh kembang kota Bandung. Kesadaran seperti inilah, rupanya telah diyakini pemotret masa lampau, untuk bisa menembus dimensi waktu, untuk bisa dikaji kembali, selain sebagai bahan referensi arsitektur, juga untuk kepentingan pembacaan sosial, budaya pada masa itu. “Bahkan dalam beberapa foto yang saya miliki, memperlihatkan mode cara berpakaian” sambung Adhi.
Fotografi kolonial menemui puncak kegitana memotret, jelang tahun 1920-an. Pada masa itu beberapa arsitektur eropa, menyadari bahwa karya mereka tidak akan abadi selain didokumentasikan menggunakan medium fotografi. Maka pergerakan muncul di Bandung, dipelopori oleh Prof. Schemerhorn dan Prof. CP. Wolff Schoemaker, guru besar arsitektur di Tecnische Hoogeschool (sekarang ITB) pata tanggal 15 Februari 1942 mendirikan Preanger Amateur Fotografen Vereeneging (PAFV) (Buletin PAF, April 2004). Klub fotografi ini awalnya memahami bahwa tata kota sangat penting didokumentasikan. Beberapa foto kini sebagain masih disimpan dibeberapa kolektor pribadi dan di institusi pendidikan, namun sayang sekali, meskipun memiliki data yang sangat berharga, beberapa karya foto tersebut tidak pernah diketahui keberadaanya, sehingga bilamana hendak melakukan penelitian atau penelusuran sejarah melalui visual fotografi, sangatlah mustahil. Hingga kini, sangatlah langka beberapa penyelenggara pendidikan, menghasilkan peneliti visual fotografi. Bahkan jangankan penelitian, pencatatan sejarah berkaitan dengan fotografipun jarang sekali dilakukan.
Penelitian artefak visual fotografi, rupanya masih kurang perhatian dari para penyelenggara institusi pendidikan. Kekurang pahaman penting dokumentasi ini, bisa jadi secara otomatis akan mempersempit peluang menggali sejarah lebih banyak, karena data tersebut dianggap tidak penting. Hanya waktu akan melapukan sejarah, bagi bangsa yang membutakan dirinya dari visual fotografi kolonial. (denisugandi)