Catatan diskusi fotografi, dalam rangkaian #bdgphotomonth, 1 Oktober 2013
Di arena hiruk pikuk Jalan ABC Bandung, disuatu sudut yang tertutup pandang, sebentuk kalung rantai karat, seakan memberangus kebebasan sang mantan pejabat. Gembok itu mempertajam kekuatan gambar. Lewat jeli mata pemotret, membidik dengan tepat tatapannya pada material kampanye, ditempel pada dinding warung biru. Ternyata poster Pilkada tersebut bisa dipandang berbeda,. Beberapa jepretan dilakukan Ahmad Afgan Shofyadi, untuk memastikan, komposisi tersebut menjadi kuat, hasilnya adalah seperti satir di atas riang. Bergembira bahwa penegakan hukum telah dilakukan, prihatin karena semakin banyakknya pejabat negara yang bui. Sebut saja inisialnya ES, melempar senyum seakan impian menjadi walikota Bandung segera terwujud. Namun ternyata, skenario berubah terbalik, bukannya sakti telunjuk menjadi orang nomor satu di Bandung, tetapi kamar khusus bagi pesakitan, tergusur kasus Bantuan Sosial, beserta atasannya tentunya.
Nyaris ditempat yang tidak terlalu jauh, Jalan ABC Bandung menjadi saksi utama, rangkaian rumah peninggalan koloni kini tidak hadir lagi. Lenyap, hilang dan tenggelam dalam peraturan pemerintah yang selalu mandul dalam pengawasannya. Sebuah pusaka budaya telah dicoret dari koleksi seribu bangunan cagar budaya Bandung. Almarhum menginggalkan ingatan sejarah selamanya, kemudian disimpan dalam bab terakhir catatan kota. Dibagian latar, tampak kesibukan pasar tertua di Bandung tidak ingin memberikan perhatian khsusus, namun hanya Deni Rahadian lah, menggali kembali ingatan kolektif, bahwa di titik ini pernah ada bangunan paska art-deco. Namun fotografi selalu terlambat, maka gambar hanya sebagai media ratapan dan cacian dalam hati.
“Apakah fotografi mampu menjadi media untuk perubahan?” kalimat pancingan yang dilemparkan pada forum. Beberapa menanggapi bahwa media ini seharusnya mampu, bagai pedang ditengah perang, bisa memenggal kezaliman. Namun kini, trend memperlihatkan, perangkat ini hanyalah sekedar alat populer. “Memotret menjadi menyenangkan, tetapi menjadi sulit ketika ditanya, apakah tanggung jawabnya” rupanya fotografi Indonesia dibangun terlalu genit, menempatkan fotografi untuk kaidah estetika saja, bukan pemaknaan kota.
Persis seperti tag line minuman teh nasional “Siapapun pemegang kekuasaan pemerintahan, akan selalu salah! Karena kekuasaan daulat rakyat” papar salah seorang peserta diskusi. Tumpang tindih antar kepentingan, menyisakan warganya pada konflik yang tidak pernah usai. Dimulai dari salah urus angkutan kota, penempatan bilboard yang semena-mena, vandalisme perangkat fasilitas umum, maupun kepentingan ekonomi mengalahkan kebijakan aturan kota dan seterusnya. “Kota tentunya mempunyai rencana panjang kedepan, yang dijabarkan dalam blueprint” jelas Frans dari pegiat studi sub-kultur Bandung. Ia melihat nuansa lain, bahwa penegakan hukum di lapangan yang menjadi akar persoalan. “Terlalu banyak negosiasi yang mengakibatkan terjerumus dalam tindak korupsi” tambahnya. Ia pun mengomentari komunal penghisap lem, yang tersebar dibeberapa titik lokasi kota, bahwa jikalau mendalami dan melihat dari perspektif mereka, ternyata menyimpan cerita lain.
Penampakan itulah yang kemudian diungkapkan oleh Deni Rahadian, sekelompok belia, menghisap lem, diujung perlintasan kereta api di Kiaracondong. “Beberapa teman saya pernah menjadi bulan-bulanan, gara-gara memotret mereka” jelas Deni. “Kuncinya adalah komunikasi, menempatkan mereka sama seperti kita” ujarnya. Tentu saja, merekapun ingin diperlakukan manusiawi, dengan upaya komunikasi yang santun, tentnunya membuka jalan untuk mendokumentasikannya. “Lebih baik jangan menodongkan kamera terlebih dahulu, bukalah komunikasi” papar Frans Ari Prasetyo, tercatat beberapa tahun belakangan memfasilitasi penelitian sub-kultur di Bandung, untuk beberapa peneliti asing.
Begitu pula persoalan lain yang terungkap melalui gambar karya Ahmad F. Rizky, yang biasa disapa Ame. Sesosok perempuan, terbingkai di jendela, persis dibantaran sungai Cikapundung. Gambaran air sungai tidak bersahabat tertangkap kamera lengkap dengan permainan komposisi diagonal, seakan bangunan hendak runtuh menuju sungai. Begitu pula gambaran yang berhasil direkam oleh Ricky N. Sastramihardja, awan yang menggelayut tepat di bawah simbol klub sepakbola Persib di lapangan Siliwangi. Awan yang menggelayut, seperti menjelaskan kenapa klub ini selalu berjalan ditempat, mengganjal guliran bola membobol gawang lawan. “Persib, iraha rek jadi juara” sepenggal kalimat yang dihadirkan bobotoh pada suatu pertandingan.
Inilah penggalan dalam ruang diskusi, yang menyoal ruang simbol kota, sebagai penutup dari pameran fotografi kolektif online, yang di gagas oleh Forum Studi Fotografi Bandung/FSFB, dalam rangkaian Bulan Fotografi Bandung diselenggarakan oleh Prodi FGF Fiss Unpas. Kegiatan dilaksanakan hari Selasa, 1 Oktober 2013, setengah hari, dimulai dengan proses pemotretan secara langsung diberbagai lokasi, oleh 7 pemotret dengan menggunakan media digital berbeda, kemduaian diunggah di situs, untuk di presentasikan melalui layar proyektor secara realtime. Kesaksian ruang tengah Gedung PGN/Gas Jalan Braga 40 Bandung menjadi saksi, pameran fotografi kolektif yang digagas realtime pertama kali dalam sejarah fotografi Indonesia. Gagasan menghadirkan realtime, bermaksud memotret dititik waktu terakhir, kondisi ruang kota.
Karya disajikan slideshow, mulai pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi fotografi, yang menyoal pembacaan ruang publik kota. Sebutlah Deni Rahadian, Ahmad Afgan Shofyadi, Ahmad F. Rizky, Ricky N. Sastramihardja, Dafi Paparu dan Deni Sugandi, tujuh pemotret yang memiliki cara pandang berbeda. Masing-masing diberi kebebasan untuk melihat, dengan cara alternatif “membaca kota dengan mata terpejam”, inilah Caeci-Nati, bahasa latin berarti “terlahir buta” sebuah cara pandang alternatif untuk melihak kota yang kini menjelang banal, maka perlu cara melihat dengan tidak melihat, niscaya memberikan perspektif baru untuk merekam ruang kota. (@denisugandi)
Sajian karya: http://knotpic.com/fotolisisbdg