Bila memandang dari bibir kawah Gn. Galunggung ke arah tenggara, maka terlihat hamparan perbukitan menjelang kota Tasikmalaya, tersebar di area seluas 170 km persegi, hingga jangkauan terjau 23 km (1989, Sutikno Bronto). Fenome geologi ini terbentuk akibat letusan menyamping, hasil produk letusan Gn. Galunggung purba, disebut Debris Avalanches. Jajaran perbukitan di kaki Galunggung menjadi penanda maha dahsyat letusan gunung ini pada masa lalu. Sebelum meletus dan terbentuk debris avalanches, Galunggung merupaka gunug api dengan kerucut setinggi lebih dari 3000 m. Di puncak Guntur, yang berada di belakang kawah Gunung Galunggung saat ini, merupakan sisa Galunggung tua (Akhmad Zaenuddin/PVMBG Badan Geologi).
Keunikan lingkungan penopang iklim dan mitigasi bencana Jawa Barat di Kabupaten Tasikmalaya tergerus penambangan. Masa depan lingkungan dan kehidupan masyarakat Tasikmalaya pun dipertaruhkan.
“Tasikmalaya dianugerahi keunikan kontur geografis unik dan menyelamatkan. Namun, nasibnya kini kritis di ambang kehancuran,” kata Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Dadang Sudarja, seperti dilansir Harian Kompas, beberapa hari lalu.
Dadang mengatakan, salah satu keunikan itu adalah Perbukitan Sepuluh Ribu yang terbentang dari Kabupaten Tasikmalaya hingga kota Tasikmalaya. Perbukitan ini terbentuk dari badan Gunung Galunggung yang runtuh ratusan tahun lalu.
Dia juga mengatakan, penambangan berskala besar menggerogoti kawasan tersebut. Sejak 1984 atau dua tahun setelah letusan terakhir gunung Galunggung, pasir gunung dikirim ke sejumlah wilayah di Indonesia hingga ratusan ton per hari. Gumuk pasir besi pun ditambang sejak 2009. Dari potensi 6,6 juta ton, lebih dari 75% habis dikeruk. Penambangan itu jauh dari kesejahteraan masyarakat dan hanya mendatangkan keuntungan bagi segelintir pengusaha. Akhirnya, penambangan pun meninggalkan kerusakan lingkungan. (sumber: Artikel Cincin api, & Nani/KPS).